Sertifikat Bodong dan Agunan Bank: Dugaan Kerugian Negara hingga Rp 125 Miliar di Kanwil Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara

 

Jakarta.Expostnews.Id/21/10/2025

 

Korupsi yang merugikan keuangan negara kembali mengemuka di lingkungan pertanahan. Menurut pengakuan sejumlah pengamat dan dokumen yang diperoleh, di lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara (Kanwil BPN Sumut) sejak tahun 2018 hingga 2021, terdapat praktik penerbitan sertifikat tanah fiktif dalam program PTSL dan Redist yang dibiayai APBN, Selasa (21/10/2025).

Modusnya: penerbitan 71.000 sertifikat atas objek tanah yang tidak ada mulai dari kawasan laut, sungai hingga hutan mangrove dengan menggunakan dana DIPA APBN. Dana tersebut lalu diklaim negara sebagai pembiayaan program yang sah, namun sertifikat yang diterbitkan digelapkan dan dipakai sebagai agunan terhadap fasilitas kredit di bank-bank BUMN di Medan, dengan nilai tuntutan kerugian mencapai Rp 121 miliar dari pembiayaan awal, serta dugaan kerugian tambahan hingga Rp 4,3 triliun dari kredit bank yang tidak terlunasi.

Pengamat hukum dan aktivis LSM, Sugito, yang mengaku memiliki dokumen serta saksi kunci, menyampaikan bahwa para pelaku adalah pejabat di Kanwil BPN Sumut dan kantor pertanahan di wilayah Deli Serdang.

Beberapa nama yang disebut terlibat antara lain: Kepala Kanwil BPN Sumut dan Kepala Kantor Pertanahan Deli Serdang periode terkait,

Kasubag TU Yayuk Spriatik (sekarang Kepala BPN Kota Tebing Tinggi),
Kasi Pengukuran Irwan Muslim, Notaris‐AJB atas nama nama fiktif: Endang Jaya Surbakti dan Elfridanovayanti Kayadu, Perusahaan yang disebut melakukan pemanfaatan sertifikat: PT Evada Buana Indonesia dan PT Delta Guna Indomega.

Diduga pejabat yang “naik pangkat” atau berpindah tempat jabatan setelah periode tersebut: Kepala Kantor Pertanahan di sejumlah daerah, bahkan Kepala Kanwil di Bangka Belitung.

Program yang disebut: PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dan Redist (redistribusi tanah) yang dibiayai dari APBN melalui DIPA di Kanwil BPN Sumut.

Dikatakan terjadi penerbitan 71.000 sertifikat hak atas tanah (HAT) atau hak lainnya dengan nama fiktif dan objek tanah fiktif misalnya “terletak di laut, sungai dan hutan mangrove”.

Biaya pembiayaan program diduga digunakan oleh pejabat yang bertugas untuk menerbitkan sertifikat, sementara sertifikat yang sah‐nya untuk rakyat justru beralih ke perusahaan dan digunakan sebagai agunan kredit bank plat merah.

Kerugian negara awal disebut sebesar Rp 121 miliar dari dana DIPA APBN untuk pembiayaan penerbitan sertifikat bodong. Selain itu, terdapat kredit bank BUMN yang tidak dilunasi dan mengandalkan agunan tersebut—nilai kerugian tambahan disebut hingga Rp 4,3 triliun.

Pajak daerah yang timbul dari proses pembuatan sertifikat dan balik nama (BPHTB dan PPh) juga disebut digelapkan.

Praktik ini terjadi sejak tahun 2018 hingga 2021 menurut sumber‐aktivis Sugito. Pernyataan pengaduan dicatat pada 21 Oktober 2025, di Jakarta oleh Abang Bastian Tampubolon, yang menyampaikan kronologi dan nama‐nama terkait.

Hingga saat ini, menurut pengaduan, para pelaku dianggap masih bebas dan bahkan “dipromosikan” dalam jabatan struktural.

Lokasi utama: lingkungan Kanwil BPN Sumut dan Kantor Pertanahan Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.

Objek sertifikat disebut berada di berbagai lahan yang secara geografis menunjukkan keanehan-misalnya koordinat tanah yang ternyata berada di laut, sungai atau hutan mangrove.

Sertifikat yang diterbitkan kemudian dipindahkan ke nama perusahaan di Medan dan diagunkan di bank‐bank BUMN di Medan.

Tujuan praktik ini diduga dua‐lipa: pertama, mencairkan dana APBN untuk pembiayaan penerbitan sertifikat dalam program PTSL/Redist yang sebenarnya tidak punya objek nyata; kedua, mengambil keuntungan pribadi melalui jual‐beli agunan oleh perusahaan dengan sertifikat‐bodong kepada bank BUMN.

Pejabat pertanahan disebut memanfaatkan kewenangan penerbitan sertifikat dengan kolusi bersama notaris dan perusahaan, sehingga mendapatkan imbalan atau promosi jabatan; sedangkan negara dan masyarakat dirugikan-baik dari sisi keuangan negara maupun dari aspek kepastian hukum atas tanah.

Dengan mengubah hak milik ke HGB agar proses hukum menjadi sulit, pelaku diduga menghindari potensi penindakan pidana.

Penerbitan sertifikat dilakukan dengan menggunakan nama fiktif dan objek‐objek yang secara spasial tidak layak (laut, sungai, mangrove) sebagai dasar pengajuan.

Sertifikat kemudian dicatat atas nama perusahaan, melalui notaris yang terlibat membuat akta‐akta dan perubahan balik nama.

Perusahaan mengagunkan sertifikat tersebut ke bank BUMN sebagai jaminan kredit. Kredit tidak dibayar dan agunan macet, menimbulkan kerugian bank dan implikasi keuangan negara.

Pejabat‐pejabat yang terlibat “naik jabatan” atau dipindahkan setelah masa kerjanya, tanpa penindakan yang konkret terhadap semua pelaku.

Aktivis Sugito menyebut bahwa laporan ini telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) agar dilakukan pengusutan tuntas.

Namun hingga saat ini menurut pengaduan, penyelesaian belum menunjukkan hasil yang memuaskan: “Para pelaku pencuri uang negara … masih berkeliaran dengan bangga dan dianggap sangat berprestasi,” ungkap Sugito.

Sementara itu, Kejati Sumut menangani dugaan korupsi berbeda terkait penerbitan HGB atas aset PT PTPN I lewat proses kerja sama dengan PT Ciputra Land di wilayah Sumut—menandakan pengawasan terhadap pertanahan di Sumut memang sedang meningkat.

Meskipun terdapat indikasi pelanggaran besar, belum ada konfirmasi resmi dari pihak Kanwil BPN Sumut atau BPN pusat mengenai angka 71.000 sertifikat dan kerugian hingga Rp 4,3 triliun sebagaimana dikemukakan dalam laporan.

Ketidakpastian hukum atas kepemilikan tanah: masyarakat bisa kehilangan hak milik atau mengalami sengketa karena penerbitan sertifikat fiktif.

Kerugian negara besar: selain langsung dari dana DIPA, juga dari kredit macet bank negara, dan pajak yang tidak disetor.

Menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi pertanahan dan pranata agraria: bila pejabat bisa menerbitkan sertifikat fiktif kemudian “naik jabatan”, maka preseden buruk terbentuk.

Potensi dampak sosial‐ekonomi: warga yang semestinya mendapatkan program PTSL dan Redist bisa dirugikan karena lahan yang seharusnya untuk rakyat dimanfaatkan perusahaan dan pejabat.

Rekomendasi Tindakan

1. Penyelidikan menyeluruh oleh Kejati Sumut terhadap seluruh rangkaian penerbitan 71.000 sertifikat: mulai dari verifikasi lokasi fisik, nama pemegang sertifikat, hingga status agunan di bank.

2. Audit keuangan menyeluruh atas dana DIPA APBN yang digunakan pada program PTSL/Redist di Kanwil BPN Sumut selama 2018‐2021.

3. Pemeriksaan semua pejabat yang terlibat: baik di Kantor Pertanahan Deli Serdang maupun Kanwil Sumut, termasuk notaris dan perusahaan swasta.

4. Penertiban dan pembatalan sertifikat yang terbukti fiktif atau berbasis objek tidak sah, kemudian pemulihan aset negara dan penagihan kredit bank macet yang beragunan sertifikat tersebut.

5. Penguatan sistem internal BPN: Supervisi lokasi fisik, verifikasi koordinat, transparansi penerbitan sertifikat, dan mekanisme whistleblower yang terlindungi.

6. Publikasi hasil penanganan untuk membangun kembali kepercayaan publik.

Dengan kronologi yang diungkap oleh pengadu dan aktivis, kasus ini layak mendapat perhatian serius. Bila terbukti, bukan hanya kerugian finansial yang besar, tapi kerusakan sistemik terhadap keadilan agraria dan tata kelola pertanahan nasional. Masyarakat menuntut jawaban: mengapa 71.000 sertifikat bisa terbit dan mengapa para pejabat yang disebut terlibat masih aktif dengan jabatan baru? Apakah sistem pengawasan internal secara benar telah diurai?

Semoga laporan ini memicu langkah cepat dari aparat penegak hukum dan instansi terkait agar keadilan dan akuntabilitas bisa ditegakkan.(BT/Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *